Senin, 28 November 2011

KURIKULUM HIV/AIDS

Dunia remaja sangat rawan bersinggungan dengan HIV/AIDS. Data WHO menyebutkan bahwa hampir satu diantara enam manusia dibumi ini adalah remaja. Delapan puluh lima persen (85%) hidup di negara berkembang.  Yang mencengangkan, setiap tahun kira-kira limabelas juta remaja berusia 15-19 tahun melahirkan, empat juta melakukan aborsi dan hampir 100 juta terinfeksi IMS (Infeksi Menular Seksual).
Di Indonesia, Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP, 1992) menyatakan bahwa satu dari lima perempuan yang statusnya menikah dan berusia 20-24 tahun, melahirkan anak pertama yang merupakan buah dari hubungan seks sebelum menikah. Di Bali, presentasi remaja laki-laki  yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah masing-masing adalah tiga belas koma enam persen (13,6%) dan tiga puluh tiga koma lima persen (33,5%) (Faturochman&Soetjipto,1989). Data tahun 2003, di Yogyakarta, sembilanpuluh tujuh koma lima persen (97,5%) mahasiswa Djogja melakukan hubungan seks pranikah.
Data di PKBI Jawa Tengah, study kasus perilaku seks remaja dan gaya berpacaran mahasiswa tahun 2006 di Semarang adalah limaratus (500) responden atau seratus persen (100%) memilih ngobrol dengan pasangannya. Tiga ratus sembilanpuluh Sembilan (399) responden atau delapan puluh persen (80%) melakukan pegangan tangan. Cium pipi/kening dilakukan oleh tigaratus empat puluh lima (345) responden atau enampuluh Sembilan persen (69%) melakukan. Sebanyak duaratus limapuluh lima (255)responden atau limapuluh satu persen (51%) melakukan ciuman bibir. Seratus tigapuluh delapan (138) responden atau duapuluh delapan persen (28%) melakukan ciuman leher. Duapuluh dua persen (22%) atau sebanyak seratus sebelas responden melakukan petting. Dan intercourse dilakukan oleh tigapuluh satu (31) responden atau sebanyak enam puluh koma dua persen.
Data Komisi Perlindungan Anak, perilaku seksual remaja SMU dan SMP, sebanyak sembilanpuluh tiga koma tujuh persen pernah berciuman, petting dan oral seks. Enam puluh dua koma tujuh persen remaja SMP tidak perawan. Sebanyak dua puluh satu koma dua persen remaja SMU pernah aborsi. Dan Sembilan puluh tujuh persen remaja pernah menonton film porno.
Data-data diatas sangat mencengangkan terutama dunia pendidikan. Mengingat pada usia tersebut rata-rata remaja masih berada dibangku sekolah.  Itu berarti bahwa usia remaja sangat rentan dengan salah satu media penularan HIV/AIDS melalui hubungan seks. Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan yang sudah diterbitkan dimana pencegahan HIV/AIDS dan Penyalahgunaan Obat adalah kegiatan wajib. Tetapi masih ada beberapa terutama didaerah masih belum maksimal realisasinya. Butuh upaya untuk menerapkan isu HIV/AIDS kedalam kurikulum  pendidikan guna memberikan informasi dan edukasi siswa tentang HIV/AIDS. Kegiatan ekstrakurikuler, program kesehatan sekolah, pelatihan bagi guru tentang pengetahuan HIV/AIDS adalah beberapa saran sebagai realisasi penerapan isu HIV/AIDS ke dalam system pendidikan.


























Minggu, 13 November 2011

BE POSITIVE WITH POSITIVE

Kala itu sengaja saya periksa kulit ke sebuah Rumah Sakit Negeri di daerah saya, Kabupaten Pemalang. Secara tidak sengaja dokter kulit yang memeriksa saya melihat Pin yang menempel di tas ransel saya. “Pin nya bagus Mbak, aktivis AIDS ya?” dokter itu bertanya. “Iya Dok” jawab saya. Waktu itu saya memang sudah tidak di LSM yang menangani issue HIV lagi, tetapi secara kemanusiaan saya ingin terus berbuat sesuatu dalam issue ini, apalagi ini terjadi di daerah saya sendiri.
“Kalau begitu kebetulan sekali Mbak” dokter itu menjelaskan  panjang lebar. Intinya ada beberapa pasien yang awalnya periksa kelamin berkali-kali yang terindikasi IMS (Infeksi Menular Seksual), juga periksa kulit, keluhannya candida (jamur dimulut). Berdasarkan fakta ini dokter pun menyarankan untuk konseling di klinik VCT. Rata-rata pasiennya adalah usia produktif. Minimnya sosialisasi pencegahan di daerah ini menyebabkan ketidaktahuan masyarakat untuk mencegah perilaku beresiko sejak dini. Hal ini mengundang keprihatinan saya untuk tahu lebih banyak mengenai issue HIV/AIDS di Kabupaten Pemalang.
Disela-sela kesibukan saya waktu itu, saya sempatkan untuk berkunjung ke klinik VCT, untuk sekedar ngobrol dengan petugas yang ada disana. Saya memulai dengan langkah ini, mengutarakan niat saya yang juga disambut baik oleh pihak klinik. Setelah berjalan beberapa waktu, perawat kenalan saya menghubungi saya bahwa ada pasien HIV positif yang dirawat, yang akhirnya teman saya yang perawat itu menghubungkan saya dengan pasien (ODHA). Saat itu saya ngobrol banyak dengan keluarga ODHA, yang ternyata pasangan ODHA itu sendiri juga telah konseling di klinik VCT. Kekhawatiran terbesar pasangan suami istri ini adalah bagaimana menjelaskan kepada anak mereka yang masih remaja mengenai ini semua. Akan berbeda apabila para remaja sudah diberi edukasi yang benar mengenai HIV/AIDS dengan menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di sekolah, ekstra kurikuler, ataupun kegiatan lain yang mengundang minat remaja.
Itu baru satu kasus, dan masih ada beberapa kasus lagi yang sekali lagi menyentuh sisi kemanusiaan saya. Di daerah sekecil ini, pikir saya. Yang bisa saya lakukan saat itu adalah banyak mendengarkan, dan memberikan edukasi tentang HIV/AIDS secara benar sebanyak yang saya ketahui. Dan yang utama buat saya adalah kelegaan tersendiri ketika saya melihat ODHA yang bangkit dari shock beratnya, yang artinya kehadiran saya dapat sedikit meringankan beban dan memberikan dukungan positif. Dari situ saya berpikir, kalau belum ada pemberiaan informasi pada masyarakat seluas luasnya dan sebanyak-banyaknya ya percuma, itu sama saja dengan menunggu siapa lagi nantinya yang akan mengalami kasus seperti diatas.
Langkah saya selanjutnya, yaitu menyambangi Dinas Kesehatan untuk sekedar ingin tahu saja awalnya bagaimana tanggapan mengenai kasus ini. Saya menjelaskan siapa saya dan minat saya untuk issue ini. Mereka menyambut baik dan mngatakan akan mendukung niat saya. Disana saya diceritakan mengenai kasus-kasus HIV lain di Pemalang, yang menurut saya tinggi untuk daerah kecil seperti Pemalang. Dari apa yang diceritakan saya menyimpulkan bahwa peran pemerintah daerah disini terkesan, HIV selesai dengan menutup lokalisasi.
Saya tidak puas sampai disini. Saya semakin penasaran. Saya ingat, saya mempunyai beberapa teman guru Bimbingan Konseling (BK) di sekolah menengah. Saya pun ngobrol dengan teman-teman saya tersebut. Kebetulan dua orang teman saya, satu bertugas di Kabupaten Pemalang dan yang satu lagi di Kabupaten Pekalongan. Saya bermula dari pertanyaan, adakah sedikit saja informasi HIV/AIDS masuk dalam edukasi mereka? Setahu saya biasanya digabungkan dengan materi seks education yang disampaikan oleh guru BK atau guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan (olahraga). Ternyata memang tidak ada, baik di daerah kecil Pemalang, ataupun daerah familiar seperti Pekalongan.
Sampai LSM dari Semarang mengadakan penyuluhan HIV/AIDS di salah satu SMK di Pemalang. Saya sangat exited sekali. Saya bergabung dengan mereka saat penyuluhan. Materi yang disajikan oleh team dikemas dalam tema kesehatan reproduksi remaja. Diawali dengan data-data fenomena perilaku remaja saat ini, perkembangan tubuh manusia dari balita hingga lanjut usia, lalu berlanjut hingga IMS dan HIV/AIDS. Gambar-gambar yang dipilih biasa menurut saya dan team. Tidak vulgar. Tetapi respons yang diterima begitu luar biasa. Ada juga guru yang risih mengikuti penyuluhan ini. terkesan masih sangat tabu untuk dibahas. Tetapi semua berjalan dengan lancar dan banyak menarik minat para siswa untuk tahu lebih banyak.
Hal itu kembali menggugah saya. Kepala saya dipenuhi dengan konsep dan rencana-rencana untuk bagaimana memberi edukasi HIV/AIDS pada remaja. Usia yang sangat rentan dengan era ‘permisif’ seperti sekarang. Pengalaman saya pribadi, saya masih mengingat pelajaran olah raga dan kesehatan yang saat itu membahas penyakit kelamin watu SMP hingga sekarang. Dan pengaruhnya menjadikan saya berhati-hati dengan hidup saya. Jadi saya kira pemberian pengetahuan HIV/AIDS sejak remaja itu sangat penting, atau bisa dimasukkan dalam kurikulum pelajaran. Mungkin untuk kota-kota besar sudah mulai diterapkan, tetapi untuk daerah? Mengingat kebijakan sekarang pun menggunakan otonomi daerah. Banyak sekali kendala yang saya alami untuk misi ini. Dukungan beberapa pihak yang hanya sekedar ‘mendukung’ saya kira tidak akan memberikan pengaruh apa-apa.  Tetapi saya tidak menyerah, pasti ada jalan agar saya tidak ‘sendiri’ dala melakukan aksi social ini. Siapapun bisa terkena HIV/AIDS, siapapun bisa mencegahnya dan siapapun bisa melakukan sesuatu untuk sesama manusia.