Senin, 20 Februari 2012

JUJUR (AJUR?)


Sehabis melalap buku tebal berjudul Sex After Dugem, semangat menulis saya terpantik untuk menulis (ada yang aneh, semangat menulis untuk menulis? Hehehe, ya gitulah maksudnya). Sumpah, ini buku ringan banget isinya, bukunya mah tetep berat, tebel sih. Hehehe. Penulisnya seorang copywriter, creative director perusahaan periklanan gitu. Saya gak familiar, apa saya aja ya yang kurang info, katanya sih profilnya pernah dimuat di Kompas tahun 1999 (baru inget, tahun segitu saya masih ababil).  Budiman Hakim panggilannya Om Bud.  Kalo dilihat dari gaya tulisan, orangnya kocak kayanya. 

Judulnya ‘serem’ banget nih buku, provokatif, selama baca aja suka saya biarin kebuka bukunya biar tulisan judul buku gak kebaca sama kakak saya (Hahaha, dasar saya bandel).  Dan cover gambarnya itu lho, ampun deh, kalo itu bener gambar si penulisnya, wah emang cocok tuh orang dapet predikat gokil, gendheng, kreatif, nyeleneh lah. 

Disitu si penulisnya nyeritain hal-hal yang pernah ada dihidupnya. Ada masa SMA ada kuliah, kerjaan, temen-temen kantor, nembak cewek, sampe marah-marahin orang semuanya dibeberin. Tuh penulis pake bahasa koboi (asal jangan bahasa binatang aja ya Om Bud, hihihi) jadi bacanya juga enak, berasa kayak denger cerita langsung. Kelihatan natural sekali dan gak dibuat-buat. Gamblang telanjang (ada ya? Kalo gamblang semarang, gamblang suling apa nasi gamblang tuh terkenal banget, hehehe). Ancur. Jujur ajur. 

Kali itu ya yang bikin orang-orang bisa jadi penulis beneran yang sampe jadi buku. Jujur. Disitu Om Bud, si penulisnya luwes banget mindahin cerita ke tulisanya itu. Dari yang dia nyimeng (ngisep ganja),  trus ceritain temennya yang namanya Anton dan pengalaman seksnya yang wow. Jadi udah kaya orang cerita, curhat gitu. ringan banget deh, gak perlu mikir bacanya. Sungguh berani, saya suka.

Saking menariknya nih buku, saya sampe diskusiin sama temen yang lagi smsan gangguin saya baca. Saya bilang lagi baca buku bagus banget, temen saya itu penasaran minta diceritain singkatnya gimana. Ya gak bisa lah, orang isi ceritanya beda semua, lagian berapa kaakter kalo saya tulis di sms, cari aja bukunya trus baca ndiri.  Hehehe. Karena maksa terus, akhirnya saya ceritain yang kisah si Anton. Dari situ malah obrolannya jadi ngelantur kemana-mana, sampe Angie yang katanya sempet menggugat cerai Adjie Massaid (alm) juga dibawa-bawa. Walah!

Kalo saya mau nulis (baru mau nulis lho, belom jadi tulisan) masih suka aras-arasen (ragu-ragu), padahal baru dikonsumsi sendiri, belom jadi buku beneran aja saya udah jiper duluan. Nulis tentang diri sendiri aja masih banyak yang suka saya sensor sana sini, bukan cuma itu, saya lebih banyak gak mau ngakunya daripada jujur ke diri sendiri. Gimana kalo cerita pengalaman saya dengan si A, B, C saya tulis, jangan-jangan mereka keberatan karena kisahnya yang diceritakan ke saya saya pindahin ke tulisan. Padahal waktu curhat ke saya kan mereka bilang, jangan bilang siapa-siapa ya? (setengah ngancem) Eh, malah saya jadiin tulisan. Harusnya kan gak apa-apa ya? Saya kan gak ceritain ke orang-orang, saya cuma tulis aja. Hahaha… So, haruskah rasa pekewuh (gak enak sama orang) menghambat kreatifitas kita? Saya mesti nanya ke siapa ya?

Rabu, 25 Januari 2012

DOING MEDITATION

Aku melihat ada banyak pepohonan dengan semak berupa bunga nan harum, aku berjalan terus menyusuri semak dan pepohonan itu, tidak lama kulitku merasakan hawa dingin dan sejuk, ternyata aku disuguhkan dengan pemandangan air terjun dihadapanku. Aku duduk di bebatuan di sungai jernih yang dangkal, sembari kakiku bermain air. Aku merentangkan kedua tanganku, lalu menarik nafas dalaaam sekali melalui hidung, udara yang masuk terasa hingga ke rongga-rongga kerongkonganku, aku menahan nafas sejenak merasakan sejuknya alam yang ikut menyejukkan organ tubuhku dari ujung kaki hingga sela-sela otakku. Aku hembuskan nafas perlahan melalui mulut, segala yang membebani otakku, rasa kesal, rasa marah, ketidakpuasan yang ada dihati, penat dan kelelahan  hidup ikut hilang bersama hembusan nafasku. Fyuuuhh. Aku melihat sekeliling, kuperhatikan sekali lagi setiap detail tempat ini. tempat ini milikku, aku akan ke tempat ini kapanpun aku mau.
Tempat indah seperti itu aku ciptakan sendiri di alam meditasiku. Aku kondisikan dengan duduk tegak, otot yang rileks dan mata terpejam. Sepuluh hingga dua puluh menit aku membayangkan dan mensugesti diri dengan hal-hal yang menenangkan. Kadang, aku membayangkan juga menjadi seorang bayi yang tidur dengan dibalut selimut lembut dan hangat. Sebagai manusia kecil, seorang bayi tidak memikirkan banyak hal yang memusingkan seperti manusia dewasa. 
Insomnia atau susah tidur kerap kali aku alami jika sudah mengalami banyak masalah. Penasaran terhadap sesuatu, panic, bahkan kalau sudah menginginkan sesuatu dan belum tercapai aku kerap kali tidak bisa tidur. Pernah aku ingin merubah posisi interior kamar, akhirnya tengah malam aku menggeser lemari. Hahaha, aneh memang. Atau jangan-jangan banyak orang yang mengalami hal seperti aku juga? Aku mengikuti berbagai tips tidur lebih nyenyak dengan tidur disisi kiri, tetapi keberhasilannya baru terasa setelah mungkin sekitar sepuluh kali mencoba. Hahaha. 
Setelah mencoba meditasi problem insomniaku bisa terbantu. Dan bukan hanya itu, meditasi juga membuatku lebih tenang dalam menghadapi situasi, control emosi bahkan ketidaknyamanan. Aku melakukan meditasi sendiri (auto relaxation). Aku benar-benar rileks dengan melakukan rileksasi dalam sebelum tidur. Dengan posisi terlentang, melemaskan seluruh otot lalu mensugesti bahwa tubuh mengisi energy positif untuk membersihkan setiap jengkal bagian tubuh dari segala penyakit, capek, dan letih. Membersihkan pikiran dari pikiran negative dan membelenggu. Membersihkan jiwa dari perasaan yang tidak enak, dari perasaaan yang menghimpit nafas dan jiwa. Biasanya aku sudah tertidur pulas sebelum meditasi selesai. :)

Ingin rasanya pergi ke suatu tempat yang hening dan tenang. (Bukan perisitirahatan terakhir ya, aku masih belum cukup bekal menuju kesana ). Pernah terlintas, apa ke Tibet aja ya… Hihihi, jauuh gillaa. Ke gunung, atau pantai pasir putih yang sepi, jadi seolah – olah itu tempat milik pribadi, makin sempurna jika ditemani someone special (ngarep, mode on).  Selama ini aku hanya membayangkan perfect place seperti itu  di alam meditasiku saja. Kalaupun ke pantai atau ke gunung, kepentinganku hanya berwisata raga saja. Want to doing some yoga asanas and meditation . Kapan ya? :)


Senin, 23 Januari 2012

IT FEELS RIGHT EVEN WHEN EVERYBODY SAYS IT'S WRONG


Saya akan bercerita mengenai seseorang. Diawal pertemuan saya dengannya saya tidak merasakan chemistry apapun. Hanya saja memang saya akui dia itu sangat eye catching diantara yang lain. Ganteng, hanya butuh sedikit 'polesan' penampilan. Batin saya. Beberapa waktu dihabiskan dengannya, saya pun nyaman bermanja dengannya. Dan sepertinya diapun begitu. Tetapi tidak ada sedikitpun saya terlintas ingin menjadi pasangannya pada saat itu. Sebatas kasih sayang adik dan kakak saja yang saya rasakan.

Saat itu kami menghabiskan waktu seharian berdua, waktu dia berpamitan untuk pulang tidak biasanya dia mengucapkan terima kasih, kemudian secara mengejutkan dia mencium kening saya! Saya speechless dan hanya melongo bego dengan sikapnya itu. Semakin hari hubungan kami semakin dekat saja. Dia lebih dari seorang teman bagi saya. Mentor lebih tepatnya. Hampir semua hal saya diskusikan dengannya. Orangnya sangat smart, dan tahu apa yang saya mau. Pembicaraan kami bermutu, dia merasa begitu lega ketika saya dapat  melewati suatu tugas atau masalah. Dia memberi masukan tanpa menggurui, itu yang membuat saya klepek-klepek padanya. Suatu contoh, saya adalah orang yang sembarangan dengan gaya hidup yang saya jalani, tidak perduli dengan resiko kesehatan dengan gaya hidup saya itu. Melihat style nya yang begitu 'biasa' membuat saya begitu terkesan. Benar kata pepatah, don't judge a book by the cover. Otak encer itu lebih penting daripada sekedar tampilan yang mentereng. Sampai suatu hari saya mendapat informasi bahwa dia sudah mempunyai pacar.

Pembawaannya yang cool dan apa adanya, membuat saya semakin geregetan dibuatnya. Dia ibarat Google hidup, saya bertanya apa saja padanya. Setiap saat, setiap saya butuh. Dia adalah candu. Hanya dia yang mengerti saya. Saya menelponnya hanya untuk sekedar mendengarkan saya menangis satu jam tanpa bicara. Saat bersamanya saya merasakan hati kami yang berbicara. Dia pun mengakui hal itu. Sempat juga terlintas dibenak saya, bahwa ada perempuan yang tersakiti diluar sana. Tetapi sering gagal untuk mencoba mengakhirinya. Dia selalu datang dan datang lagi untuk saya. Pun setelah dia terikat janji suci. Toh yang bersangkutan happy-happy saja in relationship dengan saya juga. Dia masih menghubungi saya, sering memberi kejutan-kejutan untuk saya, tidak ada yang berubah. Pikir saya. Dan mungkin saya yang GR atau saya terlalu bodoh hingga salah mengartikan tanda, dia seolah memberi harapan pada saya melalui ucapan-ucapan dan perlakuannya. Love is blind, it feels right even when everybody says it wrong.

Sering dia menggoda saya dengan pertanyaan begini “gimana kalau kamu yang diperlakukan seperti ini?”. Pertama kali dia mengucapkan kalimat itu saya terdiam dan menangis, dan dia pun langsung meminta maaf sembari menenangkan saya. Seterusnya, pertanyaan yang sama saya jawab kalimatnya dengan “no comment”, kemudian dia tertawa. Sering. Sampai pada suatu waktu, saya tidak menyangka kalimat itu serius keluar dari mulutnya dan itulah terakhir kalinya kami bertemu. Satu tahun tiga bulan yang lalu.

Banyak hal menyenangkan yang saya lalui dengannya. Walaupun banyak pula air mata yang saya tumpahkan. Berakhir juga saat itu. Alasan yang saya tangkap saat itu, adanya pihak lain yang mengetahui hubungan kami. Dan dia 'seakan' menyalahkan saya. Kami berbicara tanpa ribut. Saya terlalu capek untuk menangis. Perasaan saya campur aduk, seperti gado-gado basi, ditambah lagi dia berkata “aku ingin kita tetap berhubungan baik selamanya. Anak ku senang minta jajan sama kamu. Dan bangga punya tante seperti kamu”. Saya menjawab “kenapa tidak?”. “Masalahnya apa kamu bisa menerima keadaanku? Kelak, kamu berbincang dengan istriku dan aku dengan suamimu?” dia balik bertanya. Saya menggeleng kepala, tak berdaya. Sialan kamu Mas, memojokkanku dengan menanyakan hal yang kamu sendiri sudah tahu jawabannya. Maki saya dalam hati.  Saya menahan air mata saya. Saya berusaha tenang. Baru kali itu saya menjaga gengsi didepannya. Mulai detik ini saya sudah merasa 'menjadi orang lain', saya bukan lagi 'bagiannya’. Saya benar-benar terpojok, kenapa jadi saya yang disalahkan.

Dia mencium pipi dan mengelus kepala saya seraya membisikkan kata “baik-baik ya..”. Itu ucapan terakhirnya. Mata saya nanar, hati saya beku, lidah saya kelu.  Begitu ia berbalik, saya menatap punggungnya berlalu, air mata saya tumpah tak terkendali. Saya menangis, hati saya hancur. Setiap membuka mata dan menyadari dia sudah tidak ada untuk saya lagi, rasanya enggan sekali saya bergerak. Menangis dan menangis, itu yang saya lakukan. Cukup lama untuk menyembuhkan luka hati saya. Sebelum berpisah saya memintanya untuk jangan pernah sekalipun menghubungi saya kembali. Enam bulan setelah kami berpisah dia sempat menanyakan kabar saya. Saya masih sedih menerima pesan singkatnya. Saya menguatkan diri untuk tidak membalasnya.

Sekarang, saya tahu kebahagiaannya telah sempurna disana. Entah kenapa saya tidak bisa membencinya, walaupun sakit hati itu ada. Saya senang pernah dekat dengannya, sungguh, diluar perlakuan dia terhadap saya ataupun penghianatan terhadap pasangannya, apapun itu, dia adalah orang yang baik. Dia turut menggali sisi positif dalam diri saya. Saya sangat berterima kasih, dengan sabar dia mengajarkan saya banyak hal, walaupun mungkin saya orang terbodoh di dunia. Yang terpenting dari kesemuanya adalah dia sangat menghormati saya. Dia ada dalam do'a saya. 

Kamis, 19 Januari 2012

WORTH LIVING


Terus terang saya tidak nyaman dengan kondisi ini. Dari dulu hingga sekarang saya hanya menyimpannya sendiri. Lama saya ingin menulis ini. Tetapi saya ragu, apakah tidak akan kenapa-kenapa atau bagaimana-bagaimana. Walaupun hanya saya yang akan membaca ini nantinya. Daripada terus mengusik benak saya, saya putuskan untuk menulisnya saja hari ini.

Orangtua saya mendidik saya dengan dasar agama yang kuat. Hari-hari saya semasa kecil hingga menginjak remaja sibuk dengan belajar agama. Pagi sekolah formal, sore belajar di madrasah dan malam belajar ngaji di mushala atau di rumah. Menginjak remaja saya mengikuti organisasi keagamaan. Pola didik orangtua saya yang kolot dan saklek selalu menekankan orientasi akhirat. Kabar baiknya, kata-kata orangtua masih terngiang ditelinga saya, saya masih saja takut kalau berbuat salah, saya rasakan dampaknya sekarang. Apa jadinya saya jika orangtua tidak mencekoki agama dan agama.

Perbedaan  mencolok saat bersosialisasi dengan teman-teman saya rasakan saat itu. Kadang pengaruh luar yang terbawa sampai ke rumah mendapat reaksi 'ekstrim' dari orangtua saya. Misalnya saya bertutur kata tidak sopan, yang saya sendiri tidak tahu apa itu artinya. Kemudian orangtua menanggapinya dengan marah dan berkata “Ora pareng, saru, dosa!” dan semacamnya tanpa menjelaskan mengapa berkata seperti itu tidak baik. Saya kecil pun kemudian menutup diri atas apa yang saya dapatkan dan lakukan. 'Ruang gerak' saya yang tidak leluasa ketika di rumah saya lampiaskan di sekolah, atau saat berada diluar rumah.

Saya remaja sempat menjadi anak yang bandel, belajar merokok, suka bolos sekolah sampai tidak naik kelas saat SMA, dan yang tidak lazim di keluarga saya, ekstra tindik ditelinga. Di keluarga saya jarang sekali ada yang namanya keterbukaan. Kasarannya kepentingan saya dan saudara-saudara yang lain, kalau uang habis tinggal minta ke orangtua, selesai. Selebihnya hanya kepentingan-kepentingan formal seperti undangan dari sekolah yang kami sampaikan. Alhasil, orangtua kerap kali terkaget-kaget dengan tingkah polah anak-anaknya diluar rumah.

Saya mengetahui banyak hal diluar rumah. Ternyata banyak teman-teman saya yang biasa menceritakan masalah pribadi mereka dengan orangtuanya, dan itu sah-sah saja, tidak dosa.Saya bisa dipingit seumur hidup kalau sekecap saja berkata pada orangtua bahwa saya jatuh cinta pertama kali saat masa pubertas. Apalagi seperti anak-anak sekarang, punya bakat kemudian mengukir prestasi dengan dukungan orangtua. Oh, jangan harap. Bisa diceramahi dua hari dua malam oleh orangtua saya. Orangtua teman-teman saya sangat hafal dengan saya, akrab bahkan. Berbeda sekali dengan saya. Orangtua saya, hanya mengenali teman saya yang kenal sesama orangtuanya. Saya sempat ditegur karena orangtua teman saya berbeda aliran dengan orangtua saya. Akhirnya, demi kebebasan dan kenyamanan bersama saya menjadi anak manis di rumah.

Menginjak dewasa, saya mulai menentukan sikap. Memilih dan memilah sikap baik dan perilaku buruk mana saja yang saya anut. Saya bergaul dengan siapa saja, dan saya melakukan apa yang saya mau dengan tetap berbakti kepada orangtua yaitu dengan menunjung tinggi nilai-nilai yang mereka tanamkan untuk selalu takut dengan Tuhan guna menghindarkan perbuatan yang melewati batas. Sekurang-kurangnya orangtua tetaplah orangtua, tenggorokan saya tercekat, mata saya berkaca teringat saat-saat mereka memanjakan saya. Mereka ada dalam aliran darah, hati, hembusan nafas, dan do’a saya. Saya mengikis kekecewaan terhadap orangtua yang tidak mengenalkan dunia sesuai kemauan saya dengan banyak belajar dari para orangtua teman-teman saya. Saya mempunyai banyak orangtua. Ibu, Mama, Mami, Umi, mengikuti panggilan teman-teman saya. I can’t get new parents, but I can always find new friends. I can’t have a different life, but I can make this one worth living.