Kamis, 19 Januari 2012

WORTH LIVING


Terus terang saya tidak nyaman dengan kondisi ini. Dari dulu hingga sekarang saya hanya menyimpannya sendiri. Lama saya ingin menulis ini. Tetapi saya ragu, apakah tidak akan kenapa-kenapa atau bagaimana-bagaimana. Walaupun hanya saya yang akan membaca ini nantinya. Daripada terus mengusik benak saya, saya putuskan untuk menulisnya saja hari ini.

Orangtua saya mendidik saya dengan dasar agama yang kuat. Hari-hari saya semasa kecil hingga menginjak remaja sibuk dengan belajar agama. Pagi sekolah formal, sore belajar di madrasah dan malam belajar ngaji di mushala atau di rumah. Menginjak remaja saya mengikuti organisasi keagamaan. Pola didik orangtua saya yang kolot dan saklek selalu menekankan orientasi akhirat. Kabar baiknya, kata-kata orangtua masih terngiang ditelinga saya, saya masih saja takut kalau berbuat salah, saya rasakan dampaknya sekarang. Apa jadinya saya jika orangtua tidak mencekoki agama dan agama.

Perbedaan  mencolok saat bersosialisasi dengan teman-teman saya rasakan saat itu. Kadang pengaruh luar yang terbawa sampai ke rumah mendapat reaksi 'ekstrim' dari orangtua saya. Misalnya saya bertutur kata tidak sopan, yang saya sendiri tidak tahu apa itu artinya. Kemudian orangtua menanggapinya dengan marah dan berkata “Ora pareng, saru, dosa!” dan semacamnya tanpa menjelaskan mengapa berkata seperti itu tidak baik. Saya kecil pun kemudian menutup diri atas apa yang saya dapatkan dan lakukan. 'Ruang gerak' saya yang tidak leluasa ketika di rumah saya lampiaskan di sekolah, atau saat berada diluar rumah.

Saya remaja sempat menjadi anak yang bandel, belajar merokok, suka bolos sekolah sampai tidak naik kelas saat SMA, dan yang tidak lazim di keluarga saya, ekstra tindik ditelinga. Di keluarga saya jarang sekali ada yang namanya keterbukaan. Kasarannya kepentingan saya dan saudara-saudara yang lain, kalau uang habis tinggal minta ke orangtua, selesai. Selebihnya hanya kepentingan-kepentingan formal seperti undangan dari sekolah yang kami sampaikan. Alhasil, orangtua kerap kali terkaget-kaget dengan tingkah polah anak-anaknya diluar rumah.

Saya mengetahui banyak hal diluar rumah. Ternyata banyak teman-teman saya yang biasa menceritakan masalah pribadi mereka dengan orangtuanya, dan itu sah-sah saja, tidak dosa.Saya bisa dipingit seumur hidup kalau sekecap saja berkata pada orangtua bahwa saya jatuh cinta pertama kali saat masa pubertas. Apalagi seperti anak-anak sekarang, punya bakat kemudian mengukir prestasi dengan dukungan orangtua. Oh, jangan harap. Bisa diceramahi dua hari dua malam oleh orangtua saya. Orangtua teman-teman saya sangat hafal dengan saya, akrab bahkan. Berbeda sekali dengan saya. Orangtua saya, hanya mengenali teman saya yang kenal sesama orangtuanya. Saya sempat ditegur karena orangtua teman saya berbeda aliran dengan orangtua saya. Akhirnya, demi kebebasan dan kenyamanan bersama saya menjadi anak manis di rumah.

Menginjak dewasa, saya mulai menentukan sikap. Memilih dan memilah sikap baik dan perilaku buruk mana saja yang saya anut. Saya bergaul dengan siapa saja, dan saya melakukan apa yang saya mau dengan tetap berbakti kepada orangtua yaitu dengan menunjung tinggi nilai-nilai yang mereka tanamkan untuk selalu takut dengan Tuhan guna menghindarkan perbuatan yang melewati batas. Sekurang-kurangnya orangtua tetaplah orangtua, tenggorokan saya tercekat, mata saya berkaca teringat saat-saat mereka memanjakan saya. Mereka ada dalam aliran darah, hati, hembusan nafas, dan do’a saya. Saya mengikis kekecewaan terhadap orangtua yang tidak mengenalkan dunia sesuai kemauan saya dengan banyak belajar dari para orangtua teman-teman saya. Saya mempunyai banyak orangtua. Ibu, Mama, Mami, Umi, mengikuti panggilan teman-teman saya. I can’t get new parents, but I can always find new friends. I can’t have a different life, but I can make this one worth living.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar